Rabu, 09 Mei 2012

Tips Cara Mendirikan Apotek oleh Apoteker

PP51/2009 hanya memberikan kewenangan dalam mendirikan Apotek kepada Apoteker.
Hal ini berbeda dengan PP25/1980 yang membolehkan perusahaan tertentu milik negara
yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun oleh pemerintahan yang mengurusi masalah
kesehatan baik pusat maupun daerah ataupun oleh Apoteker sendiri untuk itu yang pada
PP26/1965 sebelumnya masih diperbolehkannya koperasi maupun pihak swasta juga
diperbolehkan untuk turut mengusahakan.
Atas alasan Peraturan Perundangan, hanya Apoteker yang dapat mendirikan Apotek. Pasal
25, PP51 menyadari bahwa untuk itu diperlukan modal yang tidak sedikit. Pemerintah tetap
memberikan 'kesempatan kepada pihak lain' untuk terlibat. Namun keterlibatan pihak lain
tersebut adalah (dibatasi) pada proses sebelum Apotek tersebut didirikan oleh Apoteker.
Secara spesifik 'pembatasan' tersebut adalah berbentuk KONTRIBUSI PERMODALAN dan
sama sekali tidak diperbolehkan turut campur tangan dalam bagaimana praktik kefarmasian
dilakukan (diberlangsungkan) oleh Apoteker itu sendiri (ayat 2).
Oleh karena itu Apoteker harus dapat membuat suatu mekanisme bagaimana melibatkan'
pihak ketiga dalam proses awal pendirian Apotek tanpa membuka peluang terjadinya
campur tangan itu sendiri selama berlangsungnya kerjasama yang akan dapat
menjerumuskannya ke dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah Tips Bagaimana Mendirikan Apotek secara benar oleh Apoteker terkait
Permodalan :
1. Apoteker membuat Rancangan/Rencana Pendirian Apotek
2. Apoteker menyusun (seluruh) Anggaran/Modal yang diperlukan
3. Apoteker menetapkan sumber-sumber Modal dan Struktur Permodalan (modal
sendiri dan atau modal dari pemilik modal)
4. Apoteker menetapkan model/pola Kerjasama terkait Penyertaan Modal (jika
permodalan melibatkan pihak ketiga)
5. Apoteker melakukan Penawaran Penyertaan Modal kepada pihak ketiga
6. Apoteker membuat ketentuan dan tatacara (time schedule) Penyerahan Modal yang
akan disertakan
7. Apoteker membuat komitmen pemberian hasil Penyertaan Modal termasuk
konesekuensi jika tidak dapat memenuhinya
8. Apoteker menentukan prosedur dan tatacara Pengakhiran Kerjasama tanpa
membuka peluang 'terkuasainya Perbekalan Farmasi' oleh pemodal atau pihakpihak
lain yang tidak berwenang berdasarkan peraturan perundangan.
9. Atas Apotek yang telah berdiri sebelumnya : Apoteker bersama Pemilik Modal harus
menghitung ulang SELURUH investasi yang ada di tempat tersebut. Dimulai dari
langkah ke-2 dan seterusnya...

2 | T I P S C A R A M E N D I R I K A N A P O T E K O L E H A P O T E K E R
Hal-hal Prinsip yang harus diperhatikan pada Penyusunan Draft Perjanjian Kerjasama
Penyertaan Modal :
1. Judul Perjanjian : PERJANJIAN KERJASAMA PENYERTAAN MODAL; bukan Perjanjian
Kerjasama Penyelenggaraan Apotek. atau Perjanjian Kerjasama Apotek atau
Perjanjian Kerjasama Mendirikan Apotek.
2. Pihak Pertama adalah APOTEKER sebagai Tenaga Kefarmasian (dibuktikan dengan
kepemilikan STRA yang sah dan masih berlaku), tidak boleh hanya menggunakan
KTP; Pihak Kedua adalah PEMODAL/INVESTOR. Secara hukum, hal tersebut
menunjukkan bahwa Apoteker adalah bersifat proaktif (sekaligus sebagai Subyek
Utama/Primer) sedangkan Pemodal/Investor adalah bersifat kontributif (Subtek
Penyerta/Sekunder). Bukan sebaliknya.
3. Terhadap Cakupan Kerjasama : Pihak Pertama membatasi kontribusi Pihak Kedua.
Yakni hanya terkait besaran modal, pembagian hasil (porporsional terhadap nilai
investasi) dan mekanisme pengembalian modal awal pada akhir kerjasama.
4. Terhadap Perbekalan Farmasi (Obat) : Merupakan milik dan dikuasai oleh Apoteker
sepenuhnya. Bukan milik Apoteker bersama Pemodal. Kepemilikan/kontribusi modal
oleh pemilik modal tidak dapat dijadikan alasan legal untuk memiliki/menguasai
Perbekalan Farmasi (Obat).
5. Terhadap karyawan Apotek : Sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh Apoteker.
Pemodal tidak dibenarkan turut mengatur atau mempengaruhi atau membuat
sistem atau mekanisme sedemikian sehingga independensi Apoteker menjadi
terganggu.
6. Terhadap Pengembalian Modal pada pengakhiran kerjasama :
o Aset-aset tetap (benda diam) seperti tanah, bangunan dan sejenisnya secara
fisik diserahkan kembali kepada pemilik sesuai kondisi terakhir.
o Perabotan dan benda bergerak dikembalikan sesuai kondisi terakhir kepada
pemilik
o Uang kontan dikembalikan sebesar Modal Awal yang disertakan pada saat
Perjanjian Kerjasama dibuat.
7. Dalam keadaan Apoteker tidak sanggup mengembalikan Uang Kontan sebesar Modal
Awal, maka Apoteker dapat mengkonversinya dalam bentuk Perbekalan Farmasi
(Obat) yang senilai dengan modal awal tersebut akan tetapi dengan ketentuan
bahwa fisik Perbekalan Farmasi (Obat) tidak dapat diserahkan atau dikuasakan
kepada Pemodal melainkan diserahkan dan dikuasakan kepada Apoteker
Penggantinya yang sah (telah ber-SIPA) ditempat tersebut setelah tercapainya
Perjanjian Kerjasama Penyertaan Modal baru atas keduanya (Apoteker Baru dan
Pemodal).
8. Kelebihan/sisa Perbekalan Farmasi (Obat) setelah dikurangi nilai modal awal (pada
Pengakhiran Kerjasama), sepenuhnya adalah hak milik dan dalam penguasaan
Apoteker. Jika dipandang perlu Apoteker dapat 'menjual' kelebihan/sisa Perbekalan
Farmasi (Obat) tersebut kepada 'Apoteker Baru yang telah sah yang
menggantikannya'

3 | T I P S C A R A M E N D I R I K A N A P O T E K O L E H A P O T E K E R
Tambahan hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Apoteker :
 Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker menyerahkan Perbekalan
Farmasi (Obat) dan/atau menyuruh untuk menggantikan posisinya dan/atau
sebagian dan/atau seluruh pekerjaan kefarmasian kepada Apoteker lain yang belum
memiliki bukti kewenangan yang sah (belum ber-SIPA).
 Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker mempekerjakan Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK) yang belum memiliki SIKTTK.
 Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker memberikan wewenang
kepada TTK untuk menyerahkan obat kepada pasien. TTK diberi kewenangan untuk
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang tidak ada
apotekernya; akan tetapi kewenangan tersebut diberikan melalui (berdasarkan)
Peraturan Menteri Kesehatan ("bukan Apoteker yang memberikan")
 Undang-undang melarang siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian dengan alasan apapun kecuali atas tenaga
kesehatan tertentu yang melaksanakan tugas seperti dokter, bidan dan perawat
dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian di daerah terpencil dan dalam keadaan
darurat yang secara medis dapat mengancam keselamatan nyawa pasien (amar
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Juni 2011).
 Apoteker yang (turut) mengkondisikan sedemikian sehingga orang lain melakukan
tindakan praktik kefarmasian (termasuk tetapi tidak hanya terbatas pada
penyaluran/pelayanan/penyerahan obat kepada pasien/orang lain) adalah suatu
tindakan pelanggaran (tercela) yang dapat dikenai sangsi oleh peraturan
perundangan dan atau misconduct oleh Organisasi Profesi.
Catatan :
Kebijakan PD IAI JAWA BARAT atas APOTEK PROFESI
Untuk mendorong agar Apotek menjadi sarana pelayanan kefarmasian yang profesional
yang mendukung konsep praktik kefarmasian oleh Apoteker
1. Nilai Rencana Anggaran Apotek yang dapat dikerjasamakan sekurang-kurangnya
adalah sebesar Rp 200 juta (dua ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan.
2. Apoteker dapat menyertakan lebih dari satu pemilik modal (perorangan, perusahaan
atau gabungan keduanya) untuk mendukung realisasi Anggaran Apotek yang
direncanakannya.
3. Apabila Rencana Anggaran Apotek kurang dari Rp 200 juta (dua ratus juta rupiah) di
luar tanah dan bangunan, maka Apotek demikian sedapatnya didirikan/dikuasai
secara mandiri (pribadi) oleh Apoteker (tidak dikerjasama-modalkan).
4. Bagi Apotek (Lama) yang nilai Aset/Investasi kurang dari Rp 450 juta (empat ratus
lima puluh juta rupiah) di luar tanah dan bangunan diharapkan untuk bergabung
melalui suatu mekanisme tertentu (merger) dengan Apotek lain di bawah koordinasi
Apoteker-apoteker penanggungjawab sebelumnya.

4 | T I P S C A R A M E N D I R I K A N A P O T E K O L E H A P O T E K E R
Seorang Apoteker yang (akan) bertindak sebagai Apoteker Penanggungjawab/Pengelola
suatu Sarana Pelayanan harus mampu :
1. Merancang Tipe Apotek ideal dalam perspektif profesi (pelayanan kefarmasian) yang
sebenarnya.
2. Merancang Tataruang Apotek yang mencerminkan ciri profesi dibandingkan ciri
dagang/bisnis.
3. Merancang Apotek yang lebih mengedepankan dokumen-dokumen profesi
(GPP/CPFB) dibanding dokumen bisnis. Artinya dokumen-dokumen profesi lebih
banyak/dominan dibanding dokumen transaksional (bisnis/dagang)
4. Merancang Penjadwalan Pelayanan Apotek yang mencerminkan Apoteker sebagai
'Pelaku Utama' Pelayanan Kefarmasian yang didukung oleh TTK sebagai mitra asuh
5. Merancang Apotek dengan Anggaran senilai sekurang-kurangnya Rp 200 juta di luar
tanah, bangunan dan fasilitas lain.
6. Mengelola dan mengendalikan 'beberapa (calon) Pemodal' yang mungkin (akan)
terlibat dalam permodalan Apotek
7. Memberikan kontribusi dan memenuhi janji pengelolaan modal kepada para
pemodal yang terlibat dalam permodalan Apotek.
8. Merancang Sistem Pelayanan Kefarmasian yang mampu meningkatkan kompetensi
dirinya secara langsung dan pengembangan profesi ke depan
9. Menyiapkan diri (Apotek) sebagai tempat berlatih bagi siswa/mahasiswa farmasi
guna mengembangkan ilmu dan kualitas pelayanan kefarmasian di masa yang akan
datang.

1 komentar: